Awalnya iseng, ngetik nama sendiri
di google.com.
Eh, dapet artikel ini. Judul aslinya
'Kelas Bahasa, Midas Touch dan The Velvet Underground'.
Nama ibu Midas ini seperti nama
saya. Beliau dan saya berdiri di bidang yang sama, 'BAHASA'.
Semoga artikel ini juga menjadi do'a
untuk saya, aminn ya Allah..
check it out!
*********************************************************************************
Pagi itu cukup dingin. Reruntuhan es
yang terbawa di malam harinya mungkin memberikan efek kejut di pagi ini: dingin
luar biasa. Hari ini adalah hari pertamaku menginjakkan kaki di kelas XI SMA,
sebuah roda perjalanan masa-masa SMA yang harus dilalui walupun dengan efek
kejut dingin pagi hari yang terkadang buatku menggigil. Waktu menujukkan pukul
06.00, aku berjalan sendu sambil menyanyi-nyanyi kecil demi menahan rasa absurd
yang mungkin dirasakan ribuan pelajar Indonesia: rasa kantuk. Kupercepat langkah
kakiku menuju ruang kelas, nyanyian kecil yang kunyanyikan saat melangkah:
Radiohead – Creep, ternyata mengundang petaka. Sesosok guru berkerudung yang
terlihat tegas dimataku sudah tiba dan mungkin akan segera mengajar. Aku
terburu-buru, kulupakan Radiohead untuk sementara.
“Assalamu’alaikum…..”
“Wa’alaikumsalaam….”
“Wa’alaikumsalaam….”
Teman – temanku menjawab salamku.
Kurang lebih ada 12 orang di pagi itu, masih sedikit diantara 29 murid yang
ada. Namun bukan itu yang mengkhawatirkanku, tapi sosok guru yang mungkin sudah
senior itu diam saja, kelihatannya tidak menjawab salamku. Mungkin orang itu
menjawab salam dengan pelan, atau dalam hati, aku tidak tahu. Aku mulai duduk
di bangkuku, rasa gelisah tadi tertutupi karena ternyata guru itu baru datang
sepersekian detik sebelum aku datang. Ternyata, beliau juga menjawab salamku,
tapi mungkin aku yang tak mendengarnya. Lega pun kudapati, kunyanyikan lagi
Radiohead yang tadi sempat kulupakan, dengan pelan tentunya, tapi, toh,
pelajaran juga belum dimulai, teman-temanku masih sibuk beraktivitas sendiri,
bercakap-cakap juga, terlihat guru tersebut juga diam, terkadang mengamati.
Radiohead nyanyianku semakin liar: ditambah dengan hentakan kaki layaknya
ketukan Bass Drum. Situasi ini tidak bertahan lama, Ibu Guru yang tadi masih terlihat
cuek kini terus mengamati anak-anak, termasuk aku. Aku pun akhirnya terdiam,
begitu juga murid-murid, takut mungkin, namun ada juga yang terdiam absurd,
mungkin tadi pagi belum melaksanakan hajat: kebelet. Kulihat Bu Guru itu masih
memperhatikan, terkadang memandang, seterusnya menatap, kadang juga
memandangiku, aku menunduk saja, mengamati sepatu baruku, Pierro, edisi skater,
cukup keren. Pengamatanku berakhir tragis saat sebuah suara berirama cukup
keras mengguncang kelas.
“Sudah ramenya?”
Ibu guru itu bertanya dengan renyah,
sambil tersenyum, terlihat menyindir. Jika digolongkan majas, maka ibu tadi
melakukan Ironi, namun juga mengandung Eufimisme mungkin, aku tidak tahu.
Kucoba mengamati Pierro-ku lagi, teman-teman juga terdiam, mungkin mereka sekarang
menyadari bahwa diam itu emas, dan mungkin, tatapan Ibu Guru tadi layaknya
Midas Touch: bisa membuat segala hal menjadi emas. Pengamatanku lagi-lagi
berakhir dengan tragis, ibu guru itu mulai melanjutkan kata-katanya, mungkin
Pierro-ku cemburu karena aku sekarang mengamati Ibu Guru.
“Kalau belum selesai, silahkan
diteruskan ramenya, nanti, kalau sudah selesai, bilang, gantian, nanti saya
yang rame”.
Sambil tetap tersenyum, beliau
kembali melakukan Midas Touch, kelas pun makin menjadi emas, makin terdiam.
Sentuhan Midas guru inilah yang kemudian membuat saya dan teman-teman mengerti,
kita perlu menghargai seseorang. Akhirnya, suasana pun kembali cair, kembali
tenang, namun saya tidak lagi mengamati Pierro. “Miss Midas” berdiri, terlihat
ingin berbicara seseuatu. Aku dan mungkin seisi kelas mengharap hal yang sama:
semoga tidak membicarakan pelajaran. Hal ini terwujud, ya, mungkin sekarang
teman-temanku yang melakukan “Sentuhan Emas”.
Waktu menunjukkan pukul 07.00, hari
sudah mulai menghangat, es sisa tadi malam mungkin sudah mulai mencair. Aku
masih duduk bersama teman-teman lainnya di sebuah ruang kelas yang terletak di
pojok sendiri. Ya, semua orang tahu kalau ruang kelas itu adalah ruang kelas
Bahasa, kelas dengan embel-embel “minoritas”, “anak buangan” , “kelas sisa” ,
dan semua embel-embel negatif lainnya. Kadang pikiranku kacau menghadapi kelas
yang jumlahnya hanya sebuah di sekolahku ini, paling sedikit diantara jumlah
kelas Ilmu Alam dan Sosial yang jumlahnya selalu banyak. Diskriminasi, bukan hanya
sebuah lagu yang populer oleh Band Grunge asal Jakarta, BesokBubar, namun juga
menjadi “embel-embel” yang kurasakan di sekolahku. Terkadang aku menyesal,
kenapa aku yang notabene ingin masuk Ilmu Alam harus memasuki ruang Ilmu Bahasa
ini, apakah ini takdir? Namun, sentuhan “Midas” dari Ibu Guru tadi mampu
membuka mataku, membuka hatiku, bahkan membuat aku jatuh cinta dam selalu
membela kelas ini. Midas Touch ternyata bukan hanya milik Robert T. Kiyosaki.
Lebih dari itu, Midas Touch adalah milik Ibu Guru itu.
Ibu guru itu bernama Bu Niamah,
seorang Guru Sastra terbaik di dunia. Sosok guru penuh pengabdian, penuh
perhatian, serta penuh kasih sayang dalam mendidik aku, mendidik kami, anak
anak “minoritas”, anak Kelas Bahasa. Beliau adalah sosok “emas”, paling emas
dalam sejarah Kelas Bahasa. Beliau yang mengajari kami menghargai orang lain,
beliau yang mengajari kami untuk mendengarkan, beliau yang mengajari kami arti
penting dari komunikasi: tidak mungkin bisa berkomunikasi, tidak mungkin bisa
belajar tatkala tidak ada perhatian, tidak ada sikap menghargai, tidak ada
toleransi, tidak ada yang mau mendengarkan. Beliaulah yang mengajari kami, arti
penting sebuah kata “bergantian” di saat pagi pertama kami di kelas bahasa,
beliaulah yang mengajari kami, yang mengilhami kami, bahwa “bergantian” itu
adalah “emas” dalam komunikasi, dalam pembelajaran, dalam bahasa. Beliaulah,
yang mengajari kami, tentang itu semua, di saat pertama kali kami belajar di
kelas bahasa. Beliau adalah Midas Touch kami, beliaulah yang membuat kami,
menjadi emas, menjadi berharga.
Kuamati lagi Pierro-ku, agak sedikit
kotor, namun tetap terlihat keren. Bu Niamah juga terlihat masih berdiri,
parasnya terlihat mulai keriput, ya, beliau memang sudah cukup berumur. Meski
begitu, beliau adalah sosok yang paling bertanggung jawab dalam Kelas Bahasa di
sekolahku, namun itu belum apa-apa, beliau adalah sosok yang paling mengerti
harapan murid-muridnya saat pagi pertama mereka: semoga tidak membicarakan
pelajaran. Ya, beliau tidak sedikit pun membicarakan pelajaran, beliau bahkan
tidak membuka buku teks atupun mencoreti papan tulis. Beliau hanya bercerita,
panjang lebar, ini itu, bercerita apa saja, bercerita tentang dunia, bercerita
tentang semuanya. Ceritanya cukup menghibur, terkadang kocak, seperti Ernest
Prakasa yang ber-Stand Up Comedy, namun, beliau adalah sosok Midas sebenarnya,
karena dibalik itu semua, tersimpan emas, tersimpan emas yang membuat kami
belajar, karena sesungguhnya, dibalik cerita yang dituturkan oleh Bu Niamah
kepada kami, terbungkus banyak sekali pembelajaran, pelajaran, dialektika,
rima, puisi, majas, segalanya. Harapan kami yang ingin agar beliau tidak
membahas pelajaran memang terwujud, namun, yang membuat aku bangga, beliau
berhasil memoles, berhasil membungkus pelajaran menjadi sebuah esensi cerita
yang tiada habisnya, menjadi epic yang menarik layaknya Harry Potter, dan
inilah yang membuat aku tertegun, harapan kami dan mungkin seluruh murid di
dunia ini untuk tidak membahas pelajaran saat hari pertama mungkin miskin konotasi
dan perlu direvisi, karena kami sebenarnya hanya mengharap: Pembelajaran yang
tidak membosankan.
Waktu demi sedikit mulai berlalu.
Rasa kantukku, bahkan lirik Radiohead yang sempat kudendangkan tadi pagi
sedikit demi sedikit hilang. Hilang digantikan cerita – cerita dari Sang Midas
Touch, Bu Niamah. Perhatianku kini tidak lagi pada Pierro-ku yang dari tadi
kuamati. Ya, aku lebih tertarik dengan cerita Bu Niamah, ceritanya menggugah,
inspiratif, bahkan luar biasa. Aku hanya tahu setelah beliau bercerita, ada
beribu nasehat, ada jutaan semangat yang memompa aku, memompa kami, kelas
bahasa. Saat itu, beliau dengan gagahnya bercerita tentang Kelas Bahasa.
Menurut beliau, dari awal beliau mengajar, kelas bahasa itu selalu sedikit,
baik kelasnya, maupun jumlah muridnya. Kelas bahasa jika dikategorikan dalam
esensi intelejen dapat dikatakan sebagait korban. Namun, Bu Niamah sebaliknya,
beliau, lewat kata-katanya, lewat analoginya, mendeskritkan dan menginginkan
kelas bahasa menjadi “Tersangka Utama”, dalam konotasi positif tentunya. Beliau
yang memompa kami agar berani “unjuk gigi” di depan kelas-kelas lain. Beliau
yang mengajari kami, bahwa kelas bahasa adalah sebuah peran utama yang patut
disyukuri, dan, beliau, yang mengunyah habis rasa malu kami, rasa “terbuang”
kami, rasa “tidak pantas” kami karena berada di kelas bahasa, dengan sentuhan
emas. Dengan sentuhan kasih sayang. Harga diri kami seketika terangkat.
Terutama aku, yang awalnya menganggap diriku korban dan anak buangan karena
sebelumnya aku ingin masuk jurusan Ilmu Alam. Aku menjadi semangat, menjadi
berkobar. Ya, hanya lewat tulisan inilah, aku bisa membuktikan, bahwa ternyata
kelas bahasa tak seburuk yang kita bayangkan. Karena di dalamnya, terselip
jutaan kebahagiaan tiada tara, jutaan metafora indah, jutaan kata-kata dari
bahasa lain di dunia, jutaan memori tentang indahnya seni dan imajinasi. Aku
tidak tahu aku akan berkata apa, namun yang pasti, aku cinta kelas bahasa. Aku
cinta bahasa.
Waktu kembali berdetak. Kulihat jam
diterbangkan angin waktu menuju pukul 07.30. 30 menit beliau bercerita, memompa
semangat kami. Kulihat kembali Pierro-ku seiring Bu Niamah yang sedikit demi
sedikit beralih cerita. Ceritanya kini tentang politik, tentang pemerintahan,
tentang Indonesia. Sungguh, aku sempat berpikir jikalau beliau memiliki passion
yang besar terhadap dunia politisi. Ungkapannya laksana Presiden, masuk akal,
cerdas, dan juga berani. Mungkin, inilah yang dinamakan bakat Guru Sastra
Indonesia yang hebat. Namun, kelihatanya, beliau juga memahami Kewarganegaraan,
bahkan juga mendalami teologi. Kami, secara abstrak bahkan sempat melantunkan
pameo Niamah For President. Mendengar cerita beliau tentang Indonesia, laksana
berada di tengah-tengah medan perang yang kejam menghadapi penjajah. Beliau
juga mengajari kami untuk menghormati Merah Putih, karena, ribuan nyawa
dikorbankan untuk mengibarkannya. Aku tidak tahu, namun, beliau selalu terharu
saat dinyanyikan Indonesia Raya saat Upacara Bendera. Nasionalismenya sungguh
hebat. Lagi-lagi, inspirasi diberikan oleh Sang Midas kepada kami. Ungkapan
beliau yang paling menggugah adalah, satu hal yang membuat negara kita
berantakan, kacau balau, dan rusuh: Televisi. Mungkin, kita sudah tahu apa yang
dimaksud Bu Niamah, dan merepresentasikannya dalam berbagai intrepertasi.
Hidup hanya sekali, terlalu
menyedihkan jika mendengarkan lagu-lagu tak berkualitas. Itu ungkapan Ucok
Homicide. Setali tiga uang dengan Bu Niamah, yang mengajak kami untuk menyanyi
gembira saat beliau merasa kami sudah lelah dan bosan. Laskar Pelangi, masterpiece
epic karya Nidji dengan irama yang menggugah serta lirik yang inspiratif, kami
nyanyikan hari itu. Tanpa disadari, nyanyian kami bersama – sama untuk pertama
kalinya, di pagi itu, adalah tonggak awal kebangkitan Kelas Bahasa. Bahkan, itu
adalah momen paling bersejarah, paling berpengaruh, dalam menggapai mimpi kami,
terus berjuang di kelas bahasa.
Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukkan dunia
Berlarilah, tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya
…..
Menarilah dan terus tertawa
Walau dunia tak seindah surga
Bersyukurlah pada yang kuasa
Cinta kita di dunia
Selamanya……
Tanpa disadari, lagu tersebut
menjadi penutup perjumpaan kami dengan Miss Midas, hari itu. Dan, tanpa
disadari juga, Kelas Bahasa kini mempunyai soundtrack. Kami menjadi lebih siap
dan lebih semangat esok harinya. Bahkan, semangat ini masih terus mengalir
sampai hari ini. Layaknya The Velvet Underground yang konsernya hanya ditonton
sedikit orang namun tiap orang yang pulang dari konser tersebut terinspirasi
untuk membuat band.
Semangat kelas bahasa! Semangat para
pejuang bahasa!
Jadilah Emas! Jadilah Midas!
Tulisan ini berdasarkan pengalaman
saat penulis menduduki kelas XI di Jurusan Bahasa SMAN 1 Pandaan.
Penulis saat ini duduk di kelas XII.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar